
Sumbawa Besar, bidikankameranews.com –
Selasa, 14 Mei 2024, Lembaga Konsultan dan Survei MY Institute menggelar diskusi akademik dengan tema “Money Politics” pada Pemilihan Legislatif dan Kepala Daerah di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2024 (Dapil NTB 1 – Pulau Sumbawa).
Kegiatan yang diisi oleh Miftahul Arzak selaku direktur MY Institute dan Yadi Satriadi selaku Ketua Metodologi MY Institute tersebut memaparkan perbandingkan hasil survei dari Pra Pemilihan Legislatif 2024 lalu, yaitu dari Bulan September – Desember 2023, dan Januari – Februari 2024. Selain itu, mereka juga memaparkan perbandingan hasil survei pasca pemilihan legislatif, yaitu survei pada bulan April – Mei 2024. Keseluruhan survei tersebut dijabarkan untuk mengukur tingkat politik uang dan pergeseran suara yang terjadi akibat politik uang.
Survei pertama pada bulan September 2023 menggunakan margin of error +/- 2,89% dengan tingkat kepercayaan 95% sehingga mendapatkan responden 1200 orang.
Survei Kedua pada bulan Desember 2023 menggunakan margin of error +/- 2,5% dengan tingkat kepercayaan 95% sehingga mendapatkan jumlah responden sejumlah 1600 orang.
Sedangkan survei ketiga kalinya di bulan Januari 2024 dengan margin of error +/- 2,04% dan tingkat kepercayaan 95% sehingga mendapatkan jumlah responden sejumlah 2.400 responden.
Di survei terakhir pra pileg yaitu dua minggu sebelum pemilihan legislatif Februari 2024 dengan margin of error +/- 2,04% dan tingkat kepercayaan 95% sehingga mendapatkan 2400 responden.
Responden tersebar di seluruh Kabupaten hingga tingkat Kecamatan di Pulau Sumbawa.
Pada pemaparan pertamanya, Yadi memaparkan bahwa ada perubahan signifikan setiap bulannya pada calon-calon legislatif. Mahdalena dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang pada akhirnya mendapatkan suara tertinggi berdasarkan hasil sementara KPU yaitu sebesar 173.144 pemilih dari suara pribadinya atau 17,7%. Pada bulan September Mahdalena hanya bertengger di urutan ketiga dengan suara pribadi tidak lebih dari 0,9% sehingga diakhir pemilihan meningkat hingga 16,8%.
Sedangkan Mori Hanafi dari Partai Nasional Demokrat (Nasdem) yang mendapatkan urutan kedua berdasarkan hasil sementara KPU dengan angka pemilih sebesar 67.727 atau 6,9% suara pribadi, di awal survei September di luar 10 besar, baru mulai muncul pada survei 2 minggu sebelum pemilihan di urutan ke-8 dengan perolehan suara 3,3% atau naik sebesar 3,6% sehingga meroket diurutan kedua.
Berbeda lagi dengan H. Johan Rosihan dan H. Muhammad Syafruddin sebagai incumbent. Keduanya di survei September 2023 hingga Januari 2024 masih saling mengejar di urutan pertama dan kedua, tetapi tergelincir di menit-menit akhir. Johan Rosihan dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang mendapatkan urutan ketiga berdasarkan hasil sementara KPU hanya mendapatkan 65.445 pemilih suara pribadi atau 6,7%, padahal di dua minggu sebelum pemilihan, Johan masih bertengger di urutan pertama dengan angka presentase 17,2%, sehingga dia tergelincir hingga 10,5% di menit-menit akhir.
Sama halnya dengan H. Muhammad Syafruddin dari Partai Amanat Nasional (PAN) yang pada September hingga Januari masih berada dalam tiga besar pertempuran, namun harus bersabar berada di urutan keempat pada menit-menit akhir. Dia hanya mendapatkan suara lebih besar daripada Mori dan Johan yaitu 76.954 atau 7,9% suara pribadi tetapi secara akumulai berada di urutan ke-empat.
Dari 4 hasil survei tersebut memperlihatkan bahwa terjadi perubahan yang cukup signifikan jika dibandingkan dengan hasil real count sementara dari KPU.
“kami tidak dapat menjelaskan alasan yang tepat, karena indikasinya cukup banyak. Misalkan pergerakan masifnya tim, strategi internal yang semakin gencar diakhir pemilihan bahkan mungkin saja ada pergeseran karena money politics,” papar Yadi Satriadi.
Untuk mengevaluasi pemilihan legislatif 2024 lalu, MY Insititute lalu melakukan survei kembali pada bulan April – Mei 2024. Survei tersebut dilakukan dengan margin of error 5%, tingkat kepercayaan 95% sehingga mendapatkan responden 400 orang.
Dari persebaran responden tersebut masyarakat diminta untuk menjawab terkait kapan menetapkan pilihan untuk menyoblos pada pileg 2024 lalu, tingkat keseringan dan cara bersikap jika ditawari barang, uang atau hadiah agar memilih calon anggota dewan, serta cara bersikap jika di pilkada November 2024 mendatang ditawari uang atau barang menjelang pemilu, tegas Mifta sebagai pembicara kedua.
Berdasarkan hasil survei tersebut menunjukkan bahwa 59% pemilih menentukan sikap untuk memilih caleg di dekat – dekat pemilihan (di dalam TPS, di hari H, di hari tenang atau H-3) dengan alasan masih menunggu calon yang sering datang, tidak percaya pileg DPR RI dapat signifikan merubah kehidupan sekitar, terlalu banyak calon dan bahkan masih ada pemilih yang tidak kenal dengan calon calonnya.
Sedangkan 18,5% baru menentukan sikap di 6 bulan terakhir (dari awal masa pendaftaran di KPU) dan total pemilih yang konsisten hanya 22,5% saja.
Alasannya pun beragam diantaranya, karena caleg banyak membantu masyarakat, masih memiliki hubungan keluarga dan karena memilih dari hati nurani tanpa sogokan maupun hasutan. Dari penjelasan tersebut menunjukkan bahwa lebih dari setengah pemilih belum menentukan sikap jauh-jauh hari, dan mempertimbangkan siapa yang akan dipilih dekat dari pemilihan.
Miftah menjelaskan bahwa pemilih ditawari barang, uang atau hadiah agar memilih calon yang terjadi di Pulau Sumbawa saat ini tergolong besar. Terbukti, sebesar 79,8% pemilih pernah ditawari barang, uang atau hadiah agar memilih calon.
Dari data yang paling banyak diberikan langsung kepada pemilih berupa uang 52,5%, sembako 51,2%, dan Alat Peraga Kampanye (APK) 22,7% sedangkan yang jarang diberikan langsung adalah peralatan rumah tangga dan perlengkapan ibadah masing masing 13,5%.
Hasil tersebut berbanding lurus dengan tingkat penerimaan pemilih saat ditawarkan uang atau barang menjelang pileg 2024 lalu sebesar 57,7%. Lebih dari setengah pemilih menerima uang atau barang yang diberikan tim sukses dan calon anggota legislatif, terdapat beberapa alasan pemilih menerima jika ditawarkan diantaranya uang yang diberikan digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari hari seperti membeli bensin untuk bekerja, menambah sebagai modal untuk membeli bahan bahan pertanian yang semakin mahal. Sedangkan yang menolak sejumlah 20,8% dengan alasan selama ini memilih dengan hati Nurani, tidak ingin disalahgunakan oleh politisi, tidak ingin menjadi bagian dari korupsi politik, tidak mau menjual harga diri demi uang. Sisanya 20,5% pemilih tidak pernah ditawari dan terdapat 1% yang berharap ditawarkan tetapi selama ini belum pernah ditawari.
Menutup diskusi tersebut, Miftah memaparkan bahwa tingkat pemilih yang akan menerima uang atau barang tetapi belum tentu akan memilih calon tersebut tergolong cukup besar, yaitu 57,5%.
Beragam alasan yang dipaparkan pemilih diantaranya pemilih menganggap uang tersebut sebagai sedekah, tidak enak menolak karena pemberian dan menurut pemilih kedepannya calon kepala daerah akan digaji oleh rakyat juga jadi sekarang cicil saja kembalikan ke rakyat. Sedangkan pemilih yang menerima dan akan memilih hanya sebesar 6,3% dengan alasan seperti tidak mau berbohong dan takut uang yang diberikan menjadi haram jika tidak mencoblos calon yang memberikan karena akan dipakai untuk kegiatan sehari hari.
Kemudian pemilih yang menerima dan memilih pemberi uang dan barang sebanyak 1,7%. Terakhir, yang menolak untuk menerima uang atau barang sebesar 34,5%.
Namun, angka-angka ini akan terus bergeser semakin besar jika efek sosial di tengah masyarakat semakin buruk, ekonomi dari tingkat nasional tidak menentu dan tidak stabil, serta iklim semakin buruk yang menyebabkan pertanian atau kelautan tidak baik. Maka, tingkat politik uang akan semakin berefek buruk di tengah masyarakat, Papar Mifta.
Miftha menambahkan, dari pertanyaan-pertanyaan audience, Miftah dan Yadi bersepakat bahwa peran pengawasan dan penjagaan harus semakin diperketat di tingkat Badan Pengawas Pemilu dan Komisi Pemilihan Umum hingga tingkat Desa. Bahkan Miftah menyarankan Bawaslu dan KPU bisa menggunakan data-datanya untuk perbaikan sistem penjagaan politik uang di tengah masyarakat, tandasnya.
(jim)