Presedium ALIANSI PROVINSI PULAU SUMBAWA: PPS AMANAT KONSTITUSI DAN PANGGILAN SEJARAH

Pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa (PPS) bukanlah sekadar aspirasi administratif, melainkan tuntutan konstitusional yang sah dan berlandaskan hukum negara. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara tegas menjamin hak tersebut melalui Pasal 18 ayat (1), (2), dan (5), yang menegaskan prinsip pembagian daerah, otonomi seluas-luasnya, serta hak daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingannya sendiri sesuai dengan aspirasi rakyat.
Dalam konteks kebijakan nasional, saat ini tercatat 341 Daerah Otonomi Baru (DOB) yang tengah diperjuangkan oleh rakyat Indonesia. PPS adalah bagian integral dari arus besar tersebut—bukan pengecualian, bukan pula ancaman bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Justru sebaliknya, PPS adalah ikhtiar memperkuat NKRI melalui keadilan teritorial dan pemerataan pembangunan.
Pulau Sumbawa telah terlalu lama menanggung beban struktural sebagai wilayah mayoritas—lebih dari 70% luas wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat—namun diperlakukan sebagai pinggiran. Lambannya pelayanan publik, timpangnya pembangunan, ketidakmerataan kesejahteraan rakyat, serta pengelolaan sumber daya alam yang jauh dari prinsip keadilan dan keberlanjutan, merupakan fakta empiris yang tidak dapat disangkal. Kondisi ini melahirkan kejenuhan kolektif rakyat Pulau Sumbawa untuk terus berada dalam struktur NTB yang sentralistik dan tidak responsif.
Perjuangan PPS bukan agenda elit, bukan proyek politik praktis, dan sama sekali bukan gerakan separatis. Ini adalah gerakan rakyat—gerakan konstitusional—yang menagih kewajiban negara atas hak-hak dasarnya sebagai warga negara. Dalam perspektif teori negara dan desentralisasi, pemekaran wilayah adalah instrumen sah untuk mendekatkan negara kepada rakyat, meningkatkan efektivitas pemerintahan, serta mempercepat keadilan sosial.
Secara historis, perjuangan ini jauh mendahului lahirnya Provinsi NTB. Sejak masa Negara Indonesia Timur dan wilayah Sunda Kecil, leluhur Pulau Sumbawa telah memiliki kesadaran politik dan kedaulatan wilayah yang kuat. Kerajaan Mbojo dan Kerajaan Samawa adalah entitas berdaulat yang memiliki legitimasi sejarah dan sosial. Pembentukan NTB pada tahun 1958 dengan ibu kota di Mataram, Pulau Lombok, telah mencederai prinsip keadilan sejarah dan kedaulatan lokal Pulau Sumbawa—sebuah ironi yang hingga kini belum dipulihkan oleh negara.
Generasi demi generasi melanjutkan perjuangan ini. Puncaknya, pada tahun 2014, PPS hampir menjadi kenyataan. Namun, sekali lagi, kepentingan politik kekuasaan dan kepemimpinan yang tidak berpihak kepada rakyat telah PERSEDIUM ALIANSI PULAU SUMBAWA
menggagalkan harapan tersebut.
Sejarah mencatat, mimpi rakyat Pulau Sumbawa bukan dipatahkan oleh kurangnya syarat, melainkan oleh ketiadaan keberanian politik.
Hari ini, generasi kontemporer Pulau Sumbawa berdiri di hadapan DPR RI, mempertanyakan bobroknya kinerja lembaga perwakilan yang seharusnya menjadi penyalur kedaulatan rakyat. Aspirasi yang diperjuangkan puluhan tahun tidak boleh terus-menerus diabaikan atas nama stabilitas semu dan kepentingan sempit.
Tuntutan kami terang dan tegas:
Ketua DPR RI dan Presiden Republik Indonesia wajib menjalankan amanat konstitusi dengan segera mengesahkan Undang-Undang Daerah Otonomi Baru Provinsi Pulau Sumbawa. Tidak besok, tidak nanti—sekarang.
Karena Provinsi Pulau Sumbawa bukan hadiah kekuasaan, melainkan hak rakyat.
Bukan pemecah NKRI, melainkan peneguh keadilan republik. Bukan ambisi politik, melainkan panggilan sejarah dan amanat konstitusi.
Allahuakbar! Allahuakbar! Allahuakbar! Provinsi Pulau Sumbawa Harga Mati!














