‘ Bikin Gaduh ‘Andi Rusni Desak Kapolda NTB PTDH AIPDA S Kanit Reskrim Polsek Jerowaru, ” Telah Melukai Perasaan Warga Sumbawa “

Penulis: Andi Rusni**
Setelah kecaman keras dari berbagai elemen masyarakat khususnya Suku Samawa (Suku Sumbawa), Kapolda NTB akhirnya bergerak cepat dan mencopot Aipda S dari jabatannya sebagai Kanit Reskrim.
Muncul pertanyaan dibenak saya, apakah cukup hanya dengan pencopatan itu ? Menurut saya belum cukup, sanksi pidana harus dijatuhkan kepada yang bersangkutan sebab pernyataannya sangat merendahkan harkat dan martabat Tau dan Tana Samawa.
MENGENAL SUKU SAMAWA
Dikutip dari beberapa sumber, Diksi Samawa telah menjadi konsensus kuat yang lahir dan berkembang di dalam budaya Samawa. Entah kapan dan darimana dimulainya namun diksi Samawa sudah ada jauh sebelum Sumbawa menjadi bagian dari NKRI. Samawa berasal dari Bahasa Arab yang kata dasarnya adalah As-Sama’ yang artinya Langit.
Kata Samawa kemudian dikaitkan dengan agama langit khususnya Islam yang mengajarkan tentang nilai-nilai kemulian seperti kejujuran, kebersamaan, kedamaian dst. Sementara itu, secara akronim kita juga mengenal “Samawa” adalah singkatan dari Sakinah, Mawaddah, Warahmah, sebuah doa dan harapan yang sering diucapkan dalam pernikahan dalam Islam. Secara harfiah, “Sakinah” berarti ketenangan dan kedamaian, “Mawaddah” berarti cinta dan kasih sayang, dan “Warahmah” berarti rahmat dan kasih sayang Allah. Jadi, “Samawa” adalah doa agar pasangan suami istri mendapatkan ketenangan, cinta, dan kasih sayang dalam membina rumah tangga.
Singkatnya dapat dikatakan bahwa Tau Samawa (Orang Sumbawa) sangat menjunjung tinggi harkat dan martabatnya setinggi langit. Kedudukan ini juga terpatri dalam falsafah Adat dan Rappang Tana Samawa yaitu “Adat Berenti Ko Sara’ dan Sara’ barenti ko kitabullah”. Makna tekstualnya adalah Adat Istiadat Orang Sumbawa berpedoman kepada Syariat (Agama Islam) dan Syariat berpedoman kepada Kitabullah atau Kitab Allah yaitu Al-Qur’an dan Hadist.
Selain daripada itu, dalam tatanan sosial Tau Samawa, ada ada adagium yang menjadi Pasatotang Tau Loka (Ajaran Orang Tua) itu Taket ke Nene’, kangila boat lenge yang Artinya Takut kepada Allah, Malu berbuat buruk.
Uraian di atas hanya sebagian kecil pengetahuan yang mengurai tentang ke-sumbawa-an yang berakar pada Suku yang bernama Samawa ini. Dari sebagian uraian di atas dapat kami tarik sedikit kesimpulan bahwa Tau dan Tana Samawa ini sangat menjaga harkat dan martabatnya dan meletakkan kehormatan itu setinggi langit.
Tau Samawa yang falsafah hidupnya bertumpu pada ajaran aqidah yang dianut oleh mayoritas sebagai Seorang Muslim, sesungguhnya pantang berbuat curang, mencuri, menyampaikan berita bohong, menjadi pengemis hanya untuk makan, mereka merasa lebih terhormat bekerja sebagai petani daripada meminta-minta. Karena nilai-nilai dasarnya sebenarnya terpatri dalam nilai-nilai agama Samawi yang bernama Islam itu sendiri.
SEJARAH PANJANG KONFLIK SOSIAL DI SUMBAWA, SEBAGAI RENUNGAN DAN PELAJARAN
Sekalipun Tau Samawa (Orang Sumbawa) meletakkan harkat dan martabatnya setinggi langit namun Tau Samawa sangat terbuka kepada siapapun. Hal itu tercermin dalam lintasan sejarah, bagaimana Orang Flores (Timor) di Sumbawa ini diterima secara terbuka oleh Sultan Sumbawa di masa Kesultanan, rekam jejak sejarahnya dapat kita lihat dengan adanya Gereja Baitani dan Kampung Timor hingga saat ini. Gereja itu adalah Gereja Pertama di Sumbawa yang diberikan tempat oleh Sultan untuk membangunnya pertama kali dan pemeluk agamanya diberikan tempat tinggal yang sekarang kita kenal sebagai Kampung Timor.
Demikian pula dengan hadirnya lsebutan Kampung Bugis, Karang Dima, Karang Madura, Kampung Jawa, Karang Lombok dll. Semua itu menjadi cerminan yang tidak bisa kita nafikkan bagaimana orang Sumbawa sangat egaliter (terbuka) dan Welcome terhadap pendatang darimanapun. Hal itu tercermin dalam sebuah ungkapan Lawas (Karya Satra) Tau Samawa yang berbunyi:
MANA TAU BARANG KAYU
LAMIN TO SANYAMAN ATE
NAN SIH SANAK PARANA
Artinya:
BIAR ORANG MANAPUN
JIKA MAMPU MENYENANGKAN HATI
ITU SAUDARA MELEBIHI SAUDARA SEDARAH
Betapa dalamnya ungkapan perasaan dan bahasa hati Tau Samawa, orang yang berbeda suku bangsa, agama, adat istiadat sekalipun tetapi jika mampu pembawa kedamaian, ketenangan, kebahagiaan, kemakmuran dsb maka dialah saudara kita bahkan hubungan ikatannya melebihi ikatan saudara sedarah.
AKAN TETAPI…. Untuk di ingat !
Ketenangan, kesabaran dan kebaikan Tau Samawa jangan disalah-artikan dengan tindakan sewenang-wenang, merendahkan, menghina, arogan, bengis, brutal atau dengan kata lain jangan sampai tidak menghormati, menghargai adat istiadat maupun harkat dan martabat Tau dan Tana Samawa. Ada ungkapan perasaan Tau Samawa yang disampaikan dalam Bahasa Lawas yang menjadi antonim dari Lawas di atas yaitu:
TUTU RENAS MU GITA
MARA AI DALAM DULANG
ROSA DADI UMAK REA
Artinya:
Memang terlihat tenang kamu lihat
Seperti Air di Dalam Nampan
Bisa menjadi Gelombang Besar
Makna dari karya satra yang bernama Lawas ini adalah bahwa sekalipun terlihat tenang, damai, sabar dan tidak reaktif namun Tau Samawa tidak mau diperlakukan secara tidak adil, sewenang-wenang dst.
Ada 3 hal yang dapat menyebabkan gejolak sosial atau gelombang kericuhan di Sumbawa yaitu:
1. Agama
2. Suku
3. Wanita
Ketiga hal ini tentu saling berkaitan satu sama lainnya. Sebagai contoh, ketika kehormatan wanita Sumbawa direnggut dan diperlakukan secara tidak manusiawi oleh orang Agama lain karena perbedaan suku, ras dsb maka hal ini sangat cepat memancing reaksi publik. Hal ini telah terjadi dan tercatat dalam lintasan Sejarah Tau dan Tana Samawa.
Peristiwa kerusuhan di Sumbawa era tahun 1980-an menjadi sejarah kelam yang sejati-nya tidak kita inginkan terulang kembali. Kerusuhan yang menyebabkan banyak nyawa melayang terlalu pahit untuk diingat kembali. Konon semua itu terjadi karena ketidakadilan sosial yang terjadi di tengah masyarakat yang disebabkan oleh penempatan jabatan elit di daerah ini seperti Jabatan Kapolres, Dandim, Kepala PLN dan lain sebagainya diisi oleh orang dari etnis tertentu. Menyebabkan terjadinya kesewenang-wenangan, ketidakadilan dsb.
Kemudian pada tahun 2003, sejarah kelam terulang kembali di Kota Sumbawa Besar, penulis saat itu menjabat sebagai Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa UNSA. Seorang Mahasiswa Baru UNSA atas nama Mustakim meninggal di tangan oknum Aparat Kepolisian secara tidak wajar karena tindakan inprosedural dan brutal, ketika perwakilan Mahasiswa datang ke Polres Sumbawa untuk menanyakan kronologis kejadian namun masalah baru muncul, pernyataan Wakapolres Sumbawa saat itu memantik reaksi publik karena konon menyatakan mau minum darah orang Sumbawa. Berita itu menyebarluas secara liar sehingga menyebabkan terjadinya kerusuhan antara Tau Samawa dan Aparat Kepolisian.
Sepuluh tahun kemudian, kejadian serupa juga kembali terulang, dimana pada tahun 2013, konflik sosial terjadi karena hubungan asmara antara Oknum Anggota Polres yang berasal dari etnis dan agama lain memiliki hubungan asmara tetapi singkat cerita bahwa wanita tersebut ditemukan meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas di tikungan Empan. Beritapun menyebarluas, perempuan Sumbawa ini diajak menenggak miras di Cafe di seputaran Batu Gong, diperkosa, disulut rokok pada kemaluannya dll. Akibatnya, gejolak sosial muncul, bukan hanya protes tetapi menyebabkan aksi pembakaran rumah, toko dsb.
Peristiwa lain yang memicu gejolak sosial itu juga pernah terjadi di sekitar Lopok Beru ketika Pekerja dari Etnis Sumba menantang Tau Samawa untuk berperang secara fisik. Dalam hitungan menit serangan itu datang dan beberapa orang Sumba meregang nyawa di beberapa tempat termasuk pematang sawah krn berusaha lari menyelamatkan diri.
Sungguh hal ini sangat miris, semua berawal dari tindakan oknum secara individu yang tidak tahu batasan kepantasan, kewajaran maupun keadilan. Implikasi sosial yang luas menyebabkan kehilangan nyawa dan harta benda. Mereka yang tidak berdosa sama sekali atau tidak terlibat dalam peristiwa tersebut terkena imbasnya, sekali lagi karena ulah oknum yang tidak mampu menjaga lisannya, sama seperti halnya oknum Aparat Kepolisian berinisial Aipda S ini.
SEJARAH BURUK DIINGAT UNTUK MENJAGA KEDAMAIAN BUKAN PERUSAK TATANAN SOSIAL
Ada sebuah kalimat yang sangat bermakna; “Mulutmu adalah harimau-mu”. Akibat lisan yang tak terjaga, rusak seluruh tatanan sosial yang terbina selama ini. Ibarat kata pepatah; Karena Nila setitik, rusak susu sebelanga. Kita tentu tidak mengharapkan hal ini kembali terjadi dan penulis mencoba mengurai semua ini agar setiap orang baik pejabat maupun rakyat biasa tahu bahwa dalam hidup ini ada batasan yang boleh dan tidak boleh kita lakukan. Apalagi sudah menyangkut harga diri Tau dan Tana Samawa.
Dalam jabatan apapun kita berada, terlebih lagi sebagai Aparat Penegak Hukum, jangan sekali-kali bertindak sewenang-wenang, tidak adil, arogan dan tdk mampu menjaga lisan yang dapat menyakiti perasaan Tau dan Tana Samawa maka amarah publik itu begitu cepat akan terjadi. Laksana Gelombang Pasang, mereka akan menghantam karang, daratan bahkan setiap yang berdiri mengangkang tanpa perduli lagi seberapa besar mereka rugi karena kehormatan/ harga diri Tau dan Tana Samawa diletakkan di atas segalanya.
Hentikan ! Jangan diteruskan.
Hukum Pelaku dengan seberat-beratnya karena dia Aparat. Tidak cukup hanya dengan PERMINTAAN MAAF, bilaperlu PTDH sebab dia Aparat lebih khusus Kanit Reskrim, sebuah jabatan prestisius. Perilakunya buruk, menanggak miras, tidak mau membayar, menghina perempuan dan Suku Samawa.
Kata-kata A*ji*ng, adalah bukti penghinaan yang tidak dapat kami terima. Untuk sekedar makan, padi tumbuh dengan sangat subur di Sumbawa ini. Sumbawa menjadi salah satu lumbung pangan nasional. Padi, Jagung dan Palawija tumbuh tidak hanya di atas tanah tapi di atas batu sekalipun, sehingga lagi-lagi tidak pantas seoramg oknum menghina Tau dan Tana Samawa. Polda NTB harus bertindak adil dan tegas kepada Anggotanya karena penghinaan ini telah melukai perasaan kami Tau Samawa. Tks
** Anggota DPRD Kab. Sumbawa-Ketua Fraksi Gerindra
** Mantan Presiden BEM UNSA dan Ketum HMI Cab. Sumbawa
** Ketua PMI Kab. Sumbawa