
“tidak ada tambang yang bebas dari sifat kolonialis. Dari dulu sampai sekarang, tambang selalu datang dengan racun yang sama — mengadu domba, memecah rakyat, dan meninggalkan luka”
Sumbawa Besar, bidikankameranews.com — Seruan lantang menggema di Aula Kantor Desa Jorok, Kecamatan Unter Iwes, Sumbawa Besar. Tokoh publik dan budayawan Sumbawa, Nurdin Ranggabarani, SH MH, ungkapkan sikap tegasnya terhadap keberadaan tambang di Tana Samawa: TOLAK TAMBANG!
Pernyataan ini disampaikan Nurdin saat menjadi narasumber dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) bertema “Mendorong Tata Kelola Tambang yang Berkeadilan dan Berkelanjutan untuk Kemandirian Ekonomi Masyarakat” yang digagas Lembaga Sumbawa Menggugat.
Dengan nada tajam dan berapi-api, Nurdin menyerukan agar masyarakat tidak lagi bermain di area abu-abu terhadap proyek tambang milik PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) yang kini berencana membangun conveyor belt dari Blok Elang-Dodo menuju smelter di Kabupaten Sumbawa Barat.
“Kalau mau bernegosiasi, jangan targetnya rendah! Targetnya tinggi: TOLAK TAMBANG! Untuk apa ada conveyor, kalau tidak ada manfaat bagi masyarakat Sumbawa? Tanah ini tanah Intan Bulaeng, tapi kalau kita mati di lumbung padi — itu menyakitkan,” tegas Nurdin disambut tepuk tangan hadirin.
Tambang = Kolonialis Gaya Baru
Dalam paparannya, Nurdin menyebut tambang sebagai bentuk baru kolonialisme yang terus menggerogoti kedaulatan ekonomi daerah.
“Dalam studi doktoral saya, tidak ada tambang yang bebas dari sifat kolonialis. Dari dulu sampai sekarang, tambang selalu datang dengan racun yang sama — mengadu domba, memecah rakyat, dan meninggalkan luka,” ujarnya.
Ia mengajak seluruh elemen masyarakat Sumbawa — dari kepala desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), hingga Lembaga Adat Tana Samawa (LATS) — untuk memperbanyak dukungan dan membangun gerakan massif menolak tambang.
“Perjuangan ini tidak bisa setengah hati. Kepala desa, LATS, semua kita gerakkan! Kalau mau rakyat sejahtera, jangan pelan, harus keras!” tegasnya.
“Kita Terjebak dalam Data, Rakyat Tak Sejahtera”
Nurdin juga menyoroti manipulasi data ekonomi yang sering dijadikan pembenaran keberadaan tambang.
“Kita kadang naif, menolak tambang tapi masih terjebak dengan data mainstream soal pertumbuhan ekonomi NTB. Kita dihujani angka, tapi rakyat tetap miskin,” katanya.
Ia mencontohkan relaksasi tambang yang diberikan pemerintah kepada AMNT hingga 400.000 ton, namun tidak memberikan dampak apa pun bagi kesejahteraan masyarakat.
“Rakyat tetap tidak sejahtera. Relaksasi tambang hanya menguntungkan korporasi, bukan rakyat,” tandasnya.
Lebih jauh, Nurdin menyerukan agar masyarakat dan pemerintah daerah berhenti mengikuti pola negosiasi yang ditentukan oleh perusahaan tambang.
“Selama ini kita ikut skema mereka. Sekarang kita ubah! Kita yang bikin rumusan. Kalau tambang hasilkan 2 juta ton emas, berapa bagian untuk masyarakat kami? Kami ingin sejahtera, bukan sekadar jadi penonton,” serunya.
Ia juga mengusulkan safari gerakan tolak tambang melibatkan kepala desa, BPD, perguruan tinggi, dan LATS di seluruh Kabupaten Sumbawa untuk menyatukan suara rakyat.
Nurdin mengungkap bahwa sejak lama DPRD Sumbawa sebenarnya pernah mengeluarkan tujuh rekomendasi terkait tambang Dodo-Rinti, namun tidak memiliki bargaining power.
“Dulu kami minta smelter dibangun di perbatasan Sumbawa dan KSB, tapi Bupati dan DPRD tidak bersuara. Sekarang smelter dibangun di sana, baru semua ribut. Di mana suara pemerintah waktu itu?” ujarnya menohok.
Ia mengingatkan bahwa perjuangan masyarakat Sumbawa bukan bentuk perlawanan terhadap pemerintah pusat, melainkan bentuk dukungan agar kebijakan nasional berpihak kepada daerah penghasil.
Diakhir orasinya, Nurdin Ranggabarani menutup dengan pesan kuat bahwa tambang ini penyakit bagi bangsa yang tidak berdaulat.
“Kita punya laut, punya tanah subur, punya sumber daya yang tak pernah kering. Mari bicara tentang kemandirian, bukan ketergantungan. Kita tinggalkan tambang, dan tolak bersama-sama!” pintanya.
Seruan “Tolak Tambang!” pun bergema di ruangan, menjadi simbol kebangkitan baru masyarakat Tana Samawa yang menuntut keadilan, kemandirian, dan kesejahteraan sejati di atas tanah mereka sendiri — tanah Intan Bulaeng. (*)













