
Sumbawa Besar, bidikankameranews.com — Sorotan tajam kembali diarahkan pada keberadaan tambang raksasa PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT). Lembaga Sumbawa Menggugat melalui kegiatan Focus Group Discussion (FGD) mengangkat tema “Mendorong Tata Kelola Tambang yang Berkeadilan dan Berkelanjutan untuk Kemandirian Ekonomi Masyarakat”, sekaligus menggugat satu pertanyaan besar “Sumbawa dapat apa?”
Kegiatan yang digelar di Aula Kantor Desa Jorok, Kecamatan Unter Iwes, itu menghadirkan berbagai tokoh publik: Ketua Lembaga Adat Tana Samawa (LATS) Dr. Iksan Safitri, akademisi Muhammad Yamin dari Universitas Samawa (UNSA), penggagas seminar nasional tambang Edy S. Gole, politisi senior Nurdin Ranggarabani, praktisi hukum Ahmdul Kusasih dan sejumlah serta pemerhati kebijakan publik.
Wakil Ketua Lembaga Sumbawa Menggugat, Sirajuddin, menegaskan bahwa forum ini lahir dari kegelisahan para kepala desa dan pegiat demokrasi yang menginginkan perubahan nyata di Tana Samawa.
“Kami tidak mau tahu apapun alasan dan retorika. Dari Tarano sampai Alas Barat, masyarakat ingin kejelasan dan keadilan. Lembaga Sumbawa Menggugat bersama seluruh kepala desa menjadi perjuangan besar bagi Tau dan Tana Samawa,” tegasnya.
157 Kepala Desa Sepakat: Jangan Ada yang “Masuk Angin”
Kepala Desa Jorok, Rusman Akang akrab disapa Roman, mewakili para kepala desa se-Kabupaten Sumbawa mengingatkan agar perjuangan ini tidak dikotori oleh kepentingan.
“Jangan sampai ada yang masuk angin atau masuk racun. Kami para kepala desa yang merasakan langsung suara rakyat di bawah, dan 157 kepala desa siap bergerak bersama,” ujarnya.
Roman menegaskan, gerakan ini bukan sekadar forum wacana, melainkan langkah nyata memperjuangkan agar masyarakat desa ikut merasakan dampak ekonomi dari aktivitas tambang.
Akademisi UNSA: “Pertumbuhan Ekonomi NTB Tidak Sejalan dengan Nilai Tambang”
Dalam paparannya, akademisi UNSA Muhammad Yamin mengkritisi lemahnya transparansi pengelolaan hasil tambang di NTB.
Menurutnya, dengan pendapatan pajak tambang mencapai Rp12 triliun dan royalti Rp7,2 triliun, seharusnya pertumbuhan ekonomi NTB melesat.
“Kalau pendapatan sebesar itu, tapi ekonomi kita stagnan, ini salah siapa? Apakah pemerintah tidak transparan, atau memang kita sengaja dibuat tersesat dalam pengelolaan?” sindir Yamin.
Ia juga menyoroti perubahan status kontrak karya (KK) ke izin usaha pertambangan (IUP) yang minim sosialisasi publik.
“Jangan-jangan Sumbawa masuk perangkap kebijakan yang membuat semua kewenangan justru dikuasai provinsi,” tambahnya.
Tanah Intan Bulaeng Tapi Rakyat Tak Dapat Terang
Nada kritis juga disuarakan oleh praktisi hukum Ahmadul Kusasih, yang menyebut Sumbawa sebagai tanah Intan Bulaeng—namun paradoksnya, masyarakatnya justru belum menikmati kilaunya.
“Regulasi pertambangan sudah empat kali berubah. Tapi Sumbawa sebagai daerah penghasil tidak pernah dilibatkan. Bahkan ketika kami di DPRD minta salinan kontrak karya, tak pernah diberikan,” ujarnya geram.
Ahmadul menegaskan, seluruh kepala desa dan kelurahan harus menjadi garda terdepan dalam menuntut keterbukaan tata kelola tambang, termasuk pelatihan masyarakat melalui program CSR agar mereka paham dan mampu terlibat langsung dalam industri tambang.
LATS: Saatnya Tau Samawa Bergerak Bersama, Bukan Saling Timpang
Ketua LATS Dr. Iksan Safitri menilai, perjuangan ini bukan lagi tentang demo di jalan, tetapi memperjuangkan hak melalui ruang intelektual dan dialog strategis.
“Kalau bisa pakai obat generik kenapa harus obat mahal. Kita ingin solusi cerdas, bukan reaksi emosional,” ucapnya menohok.
Iksan menekankan pentingnya pendekatan budaya dan sejarah dalam memperjuangkan keadilan ekonomi bagi Tau Samawa dari Tarano hingga Sekongkang.
“Kita tidak sedang melawan perusahaan, tapi menuntut pemerintah agar membuka ruang keadilan bagi rakyat. Kita satu budaya, tapi jangan sampai rejeki hanya berpihak ke satu sisi,” tandasnya. (*)













