Oleh : Asa Alfa Dekayanti
Mahasiswa UTS
Prodi Sosiologi
Sumbawa Besar, bidikankameranews.com –
Tahun 2025 mencatatkan peningkatan ekspor jagung dari Sumbawa ke Filipina. Sumbawa memiliki produksi jagung yang berlimpah, bahkan surplus, yang membuatnya menjadi sumber potensial untuk memenuhi kebutuhan jagung di negara lain. Seperti halnya Filipina yang menjadikan Sumbawa sebagai produsen utama.
Filipina mengambil jagung dari Sumbawa karena dua faktor utama:
1. Surplus jagung di Sumbawa dan kebutuhan jagung yang tinggi di Filipina
Sumbawa memiliki potensi jagung yang besar dan bahkan surplus. Sementara Filipina, yang merupakan negara agraris, memiliki permintaan jagung yang signifikan untuk pangan dan pakan ternak.
2.Kebutuhan Jagung yang Tinggi di Filipina
Jagung merupakan tanaman penting di Filipina, berperan sebagai sumber pangan utama setelah beras dan juga sebagai pakan ternak. Permintaan jagung di Filipina cukup tinggi, baik untuk konsumsi manusia maupun untuk industri pakan ternak. Pencapaian ini dipandang sebagai keberhasilan dalam menggerakkan sektor pertanian dan perdagangan luar negeri.
Namun, dibalik data ekspor yang membanggakan, ada satu pertanyaan krusial yang belum terjawab. Mengapa harga jagung di tingkat petani tetap stagnan, bahkan cenderung merugikan? Karena data pada tahun 2024 Mereka terpaksa menjual jagung basah kepada pengepul (pengusaha) karena tak punya pilihan. Para petani Terpaksa jual dengan harga Rp 2.900 per kilogram jagung basah dengan kadar air 20-25 persen sehabis panen. Karena tak punya lahan untuk keringkan jagung.
Harga jual jagung anjlok dari Rp 5.000 per kilogram menjadi Rp 3.000 per kilogram.
Ironisnya, kondisi itu terjadi saat musim panen raya tiba sehingga membuat petani menjerit.
Data 2025 pemerintah resmi menetapkan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk jagung tingkat petani sebesar Rp 5.500 per kilogram Harga Jagung di Tingkat Petani Harga jagung di lapangan pada Maret 2025 tercatat Rp 3.700 per kg, sementara harga acuan pemerintah adalah Rp 5.500 per kilogram.
Perbedaan harga ini menjadi keluhan petani dan memicu intervensi dari pemerintah pusat dan daerah.
Fakta ini menunjukkan adanya ketimpangan antara nilai ekonomi makro dengan kesejahteraan pelaku utama di lapangan. Para petani Idealnya, meningkatnya permintaan dari luar negeri akan mendorong harga naik di dalam negeri karena adanya peningkatan nilai jual. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Petani Sumbawa tidak merasakan dampak positif dari ekspor tersebut.
Beberapa faktor bisa menjadi penyebab.
Pertama, sistem tata niaga jagung masih didominasi tengkulak atau perantara besar contohnya Tengkulak seringkali merugikan petani jagung lokal melalui praktik-praktik seperti pembelian dengan harga rendah, penundaan pembayaran, dan manipulasi timbangan atau kualitas hasil panen. Praktik ini membuat petani sulit mendapatkan keuntungan yang layak dan berpotensi menyebabkan kerugian ekonomi dan Tengkulak ini yang memiliki akses ke pasar ekspor. Petani hanya berperan sebagai produsen primer yang menjual hasil panennya dengan harga murah di awal rantai distribusi. Kedua, tidak ada mekanisme harga dasar yang menjamin petani memperoleh keuntungan layak ketika permintaan global naik.
Ketiga, lemahnya peran koperasi atau BUMDes dalam mengintervensi pasar dan menyalurkan jagung langsung ke pembeli ekspor tanpa perantara. Masalah ini menunjukkan bahwa ekspor bukan jaminan kesejahteraan petani jika sistem distribusinya tidak inklusif.
Dan solusi yang bisa di lakukan Pemerintah daerah dan pusat untuk masalah ini perlu mengevaluasi kebijakan ekspor komoditas pangan dengan menitikberatkan pada perlindungan harga di tingkat petani. Salah satunya dengan menetapkan harga referensi pembelian jagung saat musim panen raya serta memperkuat kelembagaan petani dalam rantai pasok ekspor.
Tanpa intervensi konkret, ekspor hanya akan menjadi keuntungan bagi sebagian kecil pelaku usaha besar. Sementara petani sebagai fondasi utama sektor pertanian tetap bergelut dengan harga rendah dan biaya produksi tinggi.
Sudah saatnya ekspor jagung tak hanya menjadi kebanggaan statistik, tapi juga menjadi pengungkit kesejahteraan petani lokal. (*)